Senin, 28 September 2009

para habaib jakarta

Habib Novel bin Salim bin Ahmad bin Jindan (Takziyah)


Singa Podium itu Telah Tiada

Seorang ulama dan mubalig telah berpulang ke Rahmatullah. Selama berdakwah, ia tak kenal kompromi dalam mengemukakan kebenaran.

Jumat, 3 Juni 2005 (25 Rabiulakhir 1426 H), dua tahun yang lalu, tepatnya pukul 17.00 WIB, singa podium itu telah tiada. Dialah Habib Novel bin Salim bin Jindan, 64 tahun, ulama dan mubalig yang cukup terkenal di Jakarta. Kabar wafatnya Habib Novel segera tersiar cepat melalui pesan SMS dan telepon. Sejak Jumat malam hingga Sabtu subuh, banyak orang datang bertakziah ke rumah pengasuh Pondok Pesantren Al-Fakhriyah di Ciledug- Tangerang itu. Bahkan ada yang menginap di masjid dan pesantren. Mereka kebanyakan para pengasuh majelis taklim di sekitar Jabotabek.

Menurut beberapa santri terdekatnya, Jumat sore itu sekitar pukul 15.00 WIB almarhum baru pulang dari Sukabumi. Sepanjang perjalanan pulang, ia mengeluh sakit dada. Setiap kali minum, ia selalu muntah. Begitu sampai di rumah, ia langsung beristirahat. Dan sekitar pukul 17.00 WIB, ia dipanggil ke hadirat Allah SWT. Ia meninggalkan lima anak, buah perkawinannya dengan Syarifah Faurani: Habib Jindan, Habib Ahmad, Syarifah Amirrah, Syarifah Fatimah, dan Syarifah Balqis.

Pada saat-saat terakhir, Habib Novel rajin membangunkan santri-santrinya untuk salat Subuh. Ia juga sering menghadiri beberapa acara Maulid belakangan ini. Ia memang sangat dekat dengan para santrinya, yang semuanya tinggal di satu kompleks Al-Fakhriyah, Jln. Prof. Hamka, Larangan Selatan, Ciledug, Tangerang. Para santri yang berprestasi dikirim ke Pesantren Ribath asuhan Habib Salim Asy-Syathiry atau ke Pondok Pesantren Darul Mustafa pimpinan Habib Umar bin Hafidz di Tarim, Hadramaut, Yaman.

“Abah ingin dimakamkan di tengah kompleks Pesantren Al-Fakhriyah, supaya dekat dengan para santri,” kata salah seorang santrinya. Hari itu, Sabtu, bendera kuning setengah tiang terpancang di sepanjang jalan Larangan Selatan menuju Jalan Prof. H. Hamka. Dan sejak Jumat malam jalan menuju kompleks pesantren sudah ditutup, sementara ratusan mobil parkir memenuhi kiri-kanan jalan.

Satu per satu para mu’ajizin, pelayat, diterima oleh dua kakak-beradik, Habib Jindan bin Novel dan Habib Ahmad bin Novel, putra almarhum. Mereka memang dipersiapkan sebagai kader untuk menggantikan ayahandanya. Menjelang siang, ribuan mu’ajizin sudah memenuhi Masjid Al-Fakhriyah, yang berkapasitas sekitar 1.000 orang. Bahkan sejumlah mu’ajizin lainnya rela menggelar tikar atau terpal di beberapa ruas jalan di sekitar masjid.

Pidatonya Berapi-api

Sekitar pukul 11.00 WIB, pembacaan surah Yasin dimulai, dilanjutkan dengan tahlil. Tak lama kemudian Habib Ja’far Alatas tampil menyampaikan kata sambutan, mengungkapkan perjuangan almarhum. Ia membuka tausiahnya dengan sebuah hadis Nabi, yang menyatakan, seseorang yang ingin bertemu Allah, dan suka bertemu Allah, Allah SWT suka pula bertemu dengannya. “Mudah-mudahan Habib Novel dicintai oleh Allah SWT, dan saya yakin perjuangan serta dakwah beliau merupakan jalan untuk menembus pintu rahmat dan kasih sayang Allah SWT dan Rasulullah SAW,” katanya.

Sambutan kedua disampaikan oleh Habib Hamid bin Abdullah Alkaff, dilanjutkan oleh Habib Ali bin Abdurahman Assegaf, sementara Habib Ahmad bin Novel mewakili pihak keluarga. Tepat pukul 12.00 WIB, para mu’ajizin menunaikan salat Zuhur berjemaah dengan imam Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf, dilanjutkan dengan salat Jenazah berjemaah dengan imam Habib Abdul Qadir bin Muhammad Alhadad.

Begitu salat jenazah berakhir, serentak ribuan mu’ajizin berebut mengusung keranda dan membawanya ke tempat persemayaman di sebelah barat masjid. Ketika itulah berkumandang tahlil disertai pembacaan surah Yasin dipimpin oleh Habib Hud bin Muhammad Albagir Al Attas, dilanjutkan sambutan oleh Habib Jindan bin Novel atas nama keluarga, dan doa oleh Habib Munzir Almusawa.

Almarhum, yang lahir di Jakarta pada 18 April 1942, adalah putra Habib Salim bin Jindan, ulama besar yang masyhur. Sejak kecil dididik langsung oleh ayahandanya, baru pada 1960-1968 melanjutkan pelajaran ke Mekah kepada Syekh Alwi Al-Maliky dan Sayid Amin Al-Kurtubi. Pulang kembali ke tanah air, ia langsung berdakwah. Almarhum dikenal sebagai mubalig dengan gaya pidato yang berapi-api.

Suaranya nyaring dan lantang, tak takut menyuarakan kebenaran. Tak mengherankan, banyak orang menyebutnya sebagai singa podium yang mampu menyihir pendengarnya. Apalagi ditunjang dengan tubuhnya yang gagah dan wajah tampan serta penampilan yang perlente.

Materi ceramahnya selalu dikemas dengan tema-tema aktual, berdasarkan kajian kitab-kitab klasik, sehingga membuat jemaahnya betah mengikuti pengajian selama berjam-jam. Pertama kali ia tampil sebagai mubalig pada 1980-an di Graha Purnayudha (kini Balai Sarbini) di kawasan Semanggi, Jakarta, dengan jemaah ribuan orang.

Jemaahnya terus berkembang, tidak terbatas dari kawasan Jabotabek dan seluruh Indonesia, bahkan sampai ke mancanegara. Banyak ulama besar sering bersilaturahmi. Misalnya, Habib Umar bin Hafidz, Habib Salim Asy-Syathiry, Habib Zain bin Smith, Habib Ali bin Anis Alkaff.

Sementara itu, jumlah santri yang mondok di Pesantren Al-Fakhriyah, yang sebelumnya hanya sekitar 50 santri, belakangan meningkat jadi sekitar 100 lebih. Mereka datang dari segala penjuru tanah air. Kini singa podium itu telah tiada. Innalillahi wa ina ilaihi raji’un.

Habib Husein Alaydrus,Luar batang

makam-luar-batang




I. Biografi singkat : Sohibul Qutub Al Habib Husein Bin Abu Bakar Alaydrus

Al Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus dilahirkan di Yaman Selatan, tepatnya di daerah Hadhramaut, tiga abad yang silam. Ia dilahirkan sebagai anak yatim, yang dibesarkan oleh seorang ibu dimana sehari-harinya hidup dari hasil memintal benang pada perusahaan tenun tradisional. Husein kecil sungguh hidup dalam kesederhanaan.

Setelah memasuki usia belia, sang ibu menitipkan Habib Husein pada seorang “Alim Shufi”. Disanalah ia menerima tempaan pembelajaran thariqah. Di tengah-tengah kehidupan di antara murid-murid yang lain, tampak Habib Husein memiliki perilaku dan sifat-sifat yang lebih dari teman-temannya.

Kini, Al Habib Husein telah menginjak usia dewasa. Setiap ahli thariqah senantiasa memiliki panggilan untuk melakukan hijrah, dalam rangka mensiarkan islam ke belahan bumi Allah. Untuk melaksanakan keinginan tersebut Habib Husein tidak kekurangan akal, ia bergegas menghampiri para kafilah dan musafir yang sedang melakukan jual-beli di pasar pada setiap hari Jum’at.

Setelah dipastikan mendapatkan tumpangan dari salah seorang kafilah yang hendak bertolak ke India, maka Habib Husein segera menghampiri ibunya untuk meminta ijin.

Walau dengan berat hati, seorang ibu harus melepaskan dan merelakan kepergian puteranya. Habib Husein mencoba membesarkan hati ibunya sambil berkata : “janganlah takut dan berkecil hati, apapun akan ku hadapi, senantiasa bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya ia bersama kita.” Akhirnya berangkatlah Al Habib Husein menuju daratan India.

Sampailah Al Habib Husein di sebuah kota bernama “Surati” atau lebih dikenal kota Gujarat, sedangkan penduduknya beragama Budha. Mulailah Habib Husein mensi’arkan Islam dikota tersebut dan kota-kota sekitarnya.

Kedatangan Habib Husein di kota tersebut membawa Rahmatan Lil-Alamin. Karena daerah yang asalnya kering dan tandus, kemudian dengan kebesaran Allah maka berubah menjadi daerah yang subur. Agama Islam pun tumbuh berkembang.

Hingga kini belum ditemukan sumber yang pasti berapa lama Habib Husein bermukim di India. Tidak lama kemudian ia melanjutkan misi hijrahnya menuju wilayah Asia Tenggara, hingga sampai di pulau Jawa, dan menetap di kota Batavia, sebutan kota Jakarta tempo dulu.

Batavia adalah pusat pemerintahan Belanda, dan pelabuhannya adalah Sunda Kelapa. Maka tidak heran kalau pelabuhan itu dikenal sebagai pelabuhan yang teramai dan terbesar di jamannya. Pada tahun 1736 M datanglah Al-Habib Husein bersama para pedagang dari Gujarat di pelabuhan Sunda Kelapa.

Disinilah tempat persinggahan terakhir dalam mensyiarkan Islam. Beliau mendirikan Surau sebagai pusat pengembangan ajaran Islam. Ia banyak di kunjungi bukan saja dari daerah sekitarnya, melainkan juga datang dari berbagai daerah untuk belajar Islam atau banyak juga yang datang untuk di do’akan.

Pesatnya pertumbuhan dan minat orang yang datang untuk belajar agama Islam ke Habib Husein mengundang kesinisan dari pemerintah VOC, yang di pandang akan menggangu ketertiban dan keamanan. Akhirnya Habib Husein beserta beberapa pengikut utamanya di jatuhi hukuman, dan ditahan di penjara Glodok.

Istilah karomah secara estimologi dalam bahasa arab berarti mulia, sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia (terbitan balai pustaka, Jakarta 1995, hal 483) menyebutkan karomah dengan keramat, diartikan suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam ajaran Islam karomah di maksudkan sebagai khariqun lil adat yang berarti kejadian luar biasa pada seseorang wali Allah. Karomah merupakan tanda-tanda kebenaran sikap dan tingkah laku seseorang, yang merupakan anugrah Allah karena ketakwaannya, berikut ini terdapat beberapa karomah yang dimiliki oleh Al Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus atau yang kita kenal Habib Luar Batang, seorang wali Allah yang lahir di Jasirah Arab dan telah ditakdirkan wafat di Pulau Jawa, tepatnya di Jakarta Utara.

1. Menjadi mesin pemintal

Di masa belia, ditanah kelahirannya yaitu di daerah Hadhramaut – Yaman Selatan, Habib Husein berguru pada seorang Alim Shufi. Di hari-hari libur ia pulang untuk menyambang ibunya.

Pada suatu malam ketika ia berada di rumahnya, ibu Habib Husein meminta tolong agar ia bersedia membantu mengerjakan pintalan benang yang ada di gudang. Habib Husein segera menyanggupi, dan ia segera ke gudang untuk mengerjakan apa yang di perintahkan oleh ibunya. Makan malam juga telah disediakan. Menjelang pagi hari, ibu Husein membuka pintu gudang. Ia sangat heran karena makanan yang disediakan masih utuh belum dimakan husein. Selanjutnya ia sangat kaget melihat hasil pintalan benang begitu banyaknya. Si ibu tercengang melihat kejadian ini. Dalam benaknya terpikir bagaimana mungkin hasil pemintalan benang yang seharusnya dikerjakan dalam beberapa hari, malah hanya dikerjakan kurang dari semalam, padahal Habib Husein dijumpai dalam keadaan tidur pulas disudut gudang.

Kejadian ini oleh ibunya diceritakan kepada guru thariqah yang membimbing Habib Husein. Mendengar cerita itu maka ia bertakbir sambil berucap : “ sungguh Allah berkehendak pada anakmu, untuk di perolehnya derajat yang besar disisi-Nya, hendaklah ibu berbesar hati dan jangan bertindak keras kepadanya, rahasiakanlah segala sesuatu yang terjadi pada anakmu.”


2. Menyuburkan Kota Gujarat

Hijrah pertama yang di singgahi oleh Habib Husein adalah di daratan India, tepatnya di kota Surati atau lebih dikenal Gujarat. Kehidupan kota tersebut bagaikan kota mati karena dilanda kekeringan dan wabah kolera.

Kedatangan Habib Husein di kota tersebut di sambut oleh ketua adat setempat, kemudian ia dibawa kepada kepala wilayah serta beberapa penasehat para normal, dan Habib Husein di perkenalkan sebagai titisan Dewa yang dapat menyelamatkan negeri itu dari bencana.

Habib Husein menyangupi bahwa dengan pertolongan Allah, ia akan merubah negeri ini menjadi sebuah negeri yang subur, asal dengan syarat mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan menerima Islam sebagai agamanya. Syarat tersebut juga mereka sanggupi dan berbondong-bondong warga di kota itu belajar agama Islam.

Akhirnya mereka di perintahkan untuk membangun sumur dan sebuah kolam. Setelah pembangunan keduanya di selesaikan, maka dengan kekuasaan Allah turun hujan yang sangat lebat, membasahi seluruh daratan yang tandus. Sejak itu pula tanah yang kering berubah menjadi subur. Sedangkan warga yang terserang wabah penyakit dapat sembuh, dengan cara mandi di kolam buatan tersebut. Dengan demikian kota yang dahulunya mati, kini secara berangsur-angsur kehidupan masyarakatnya menjadi sejahtera.


3. Mengislamkan tawanan

Setelah tatanan kehidupan masyarakat Gujarat berubah dari kehidupan yang kekeringan dan hidup miskin menjadi subur serta masyarakatnya hidup sejahtera, maka Habib Husein melanjutkan hijrahnya ke daratan Asia Tenggara untuk tetap mensiarkan Islam. Beliau menuju pulau Jawa, dan akhirnya menetap di Batavia. Pada masa itu hidup dalam jajahan pemerintahan VOC Belanda.

Pada suatu malam Habib Husein dikejutkan oleh kedatangan seorang yang berlari padanya karena di kejar oleh tentara VOC. Dengan pakaian basah kuyub ia meminta perlindungan karena akan dikenakan hukuman mati. Ia adalah tawanan dari sebuah kapal dagang Tionghoa.

Keesokan harinya datanglah pasukan tentara berkuda VOC ke rumah Habib Husein untuk menangkap tawanan yang dikejarnya. Beliau tetap melindungi tawanan tersebut, sambil berkata : “Aku akan melindungi tawanan ini dan aku adalah jaminannya.”

Rupanya ucapan tersebut sangat di dengar oleh pasukan VOC. Semua menundukkan kepala dan akhirnya pergi, sedangkan tawanan Tionghoa itu sangat berterima kasih, sehingga akhirnya ia memeluk Islam.


4. Menjadi Imam di Penjara

Dalam masa sekejab telah banyak orang yang datang untuk belajar agama Islam. Rumah Habib Husein banyak dikunjungi para muridnya dan masyarakat luas. Hilir mudiknya umat yang datang membuat penguasa VOC menjadi khawatir akan menggangu keamanan. Akhirnya Habib Husein beserta beberapa pengikut utamanya ditangkap dan di masukan ke penjara Glodok. Bangunan penjara itu juga dikenal dengan sebutan “Seksi Dua.”

Rupanya dalam tahanan Habib Husein ditempatkan dalam kamar terpisah dan ruangan yang sempit, sedangkan pengikutnya ditempatkan di ruangan yang besar bersama tahanan yang lain.

Polisi penjara dibuat terheran-heran karena ditengah malam melihat Habib Husein menjadi imam di ruangan yang besar, memimpin shalat bersama-sama para pengikutnya. Hingga menjelang subuh masyarakat di luar pun ikut bermakmum. Akan tetapi anehnya dalam waktu yang bersamaan pula polisi penjara tersebut melihat Habib Husein tidur nyenyak di kamar ruangan yang sempit itu, dalam keadaan tetap terkunci.

Kejadian tersebut berkembang menjadi buah bibir dikalangan pemerintahan VOC. Dengan segala pertimbangan akhirnya pemerintah Belanda meminta maaf atas penahanan tersebut, Habib Husein beserta semua pengikutnya dibebaskan dari tahanan.


5. Si Sinyo menjadi Gubernur

Pada suatu hari Habib Husein dengan ditemani oleh seorang mualaf Tionghoa yang telah berubah nama Abdul Kadir duduk berteduh di daerah Gambir. Disaat mereka beristirahat lewatlah seorang Sinyo (anak Belanda) dan mendekat ke Habib Husein. Dengan seketika Habib Husein menghentakan tangannya ke dada anak Belanda tersebut. Si Sinyo kaget dan berlari ke arah pembantunya.

Dengan cepat Habib Husein meminta temannya untuk menghampiri pembantu anak Belanda tersebut, untuk menyampaikan pesan agar disampaikan kepada majikannya, bahwa kelak anak ini akan menjadi seorang pembesar di negeri ini.

Seiring berjalannya waktu, anak Belanda itu melanjutkan sekolah tinggi di negeri Belanda. Kemudian setelah lulus ia di percaya di angkat menjadi Gubernur Batavia.


6. Cara Berkirim Uang

Gubernur Batavia yang pada masa kecilnya telah diramal oleh Habib Husein bahwa kelak akan menjadi orang besar di negeri ini, ternyata memang benar adanya. Rupanya Gubernur muda itu menerima wasiat dari ayahnya yang baru saja meninggal dunia. Di wasiatkan kalau memang apa yang dikatakan Habib Husein menjadi kenyataan diminta agar ia membalas budi dan jangan melupakan jasa Habib Husein.

Akhirnya Gubernur Batavia menghadiahkan beberapa karung uang kepada Habib Husein. Uang itu diterimanya, tetapi dibuangnya ke laut. Demikian pula setiap pemberian uang berikutnya, Habib Husein selalu menerimanya, tetapi juga dibuangnya ke laut. Gubernur yang memberi uang menjadi penasaran dan akhirnya bertanya mengapa uang pemberiannya selalu di buang ke laut. Dijawabnya oleh Habib Husein bahwa uang tersebut dikirimkan untuk ibunya ke Yaman.

Gubernur itu dibuatnya penasaran, akhirnya diperintahkan penyelam untuk mencari karung uang yang di buang ke laut, walhasil tak satu keeping uang pun diketemukan. Selanjutnya Gubernur Batavia tetap berupaya untuk membuktikan kebenaran kejadian ganjil tersebut, maka ia mengutus seorang ajudan ke negeri Yaman untuk bertemu dan menanyakan kepada ibu Habib Husein.

Sekembalinya dari Yaman, ajudan Gubernur tersebut melaporkan bahwa benar adanya. Ibu Habib Husein telah menerima sejumlah uang yang di buang ke laut tersebut pada hari dan tanggal yang sama.


7. Kampung Luar Batang

Gubernur Batavia sangat penuh perhatian kepada Habib Husein. Ia menanyakan apa keinginan Habib Husein. Jawabnya : “Saya tidak mengharapkan apapun dari tuan.” Akan tetapi Gubernur itu sangat bijak, dihadiahkanlah sebidang tanah di kampung baru, sebagai tempat tinggal dan peristirahatan yang terakhir.

Habib Husein telah di panggil dalam usia muda, ketika berumur kurang lebih 30-40 tahun. Meninggal pada hari kamis tanggal 17 Ramadhan 1169 atau bertepatan tanggal 27 Juni 1756 M. sesuai dengan peraturan pada masa itu bahwa setiap orang asing harus di kuburkan di pemakaman khusus yang terletak di Tanah Abang.

Sebagai mana layaknya, jenasah Habib Husein di usung dengan kurung batang (keranda). Ternyata sesampainya di pekuburan jenasa Habib Husein tidak ada dalam kurung batang. Anehnya jenasah Habib Husein kembali berada di tempat tinggal semula. Dalam bahasa lain jenasah Habib Husein keluar dari kurung batang, pengantar jenasah mencoba kembali mengusung jenasah Habib Husein ke pekuburan yang dimaksud, namun demikian jenasah Habib Husein tetap saja keluar dan kembali ke tempat tinggal semula.

Akhirnya para pengantar jenasah memahami dan bersepakat untuk memakamkan jenasa Habib Husein di tempat yang merupakan tempat rumah tinggalnya sendiri. Kemudian orang menyebutnya “Kampung Baru Luar Batang” dan kini dikenal sebagai “Kampung Luar Batang.”


Catatan :

Pengalaman masa lampau, tersiar khabar bahwa Al-Habib Husein membuang sejumlah uang ke laut di daerah “Pasar Ikan”. Tidak henti-hentinya para pengunjung menyelami tempat itu. Dengan bukti nyata, mereka mendapatkannya, sedangkan pada waktu itu, untuk dapat bekerja masih sukar di peroleh. Satu-satunya mata pencaharian yang mudah dikerjakan ialah, menyelam di laut. Dengan demikian, bangkitlah keramaian dikawasan kota tersebut, sehingga timbullah istilah “Mencari Duit ke Kota”

Penutup

1. Perayaan-perayaan tahunan di Makam Keramat Luar Batang.

a. Perayaan/peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, pada minggu terakhir di bulan Rabi’ul Awwal.

b. Perayaan/peringatan haulnya Al-Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus Keramat Luar Batang pada minggu terakhir di bulan Syawal.

c. Perayaan “akhir ziarah” pada bulan Sya’ban, yaitu pada 3 (tiga) hari atau 7 (tujuh) hari menjelang bulan suci Ramadhan.

2. Sumber Riwayat ini di peroleh dari :

a. Nara Sumber, sesepuh keluarga Al-Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus ialah Almarhumah Syarifah Muznah binti Husein Alaydus, kakak kandung Al-Habib Abu Bakar bin Husein Alaydrus, diceritakan kembali oleh penulis, semoga Allah SWT memberikan rahmat dan Maghfirah-Nya….Amiin.


semoga manfaat iaa...

Minggu, 27 September 2009

Al-Habib Salim bin Jindan

Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Sholeh bin Abdullah bin ‘Umar bin ‘Abdullah (BinJindan) bin Syaikhan bin Syaikh Abu Bakar bin Salim adalah ulama dan wali besar ini dilahirkan di Surabaya pada 18 Rajab 1324. Memulakan pengajiannya di Madrasah al-Khairiyyah, Surabaya sebelum melanjutkan pelajarannya ke Makkah, Tarim dan Timur Tengah. Berguru dengan ramai ulama. Seorang ahli hadis yang menghafal 70,000 hadis (i.e. ada yang mengatakan ratusan ribu hadis). Beliau juga seorang ahli sejarah yang hebat, sehingga diceritakan pernah beliau menulis surat dengan Ratu Belanda berisikan silsilah raja-raja Belanda dengan tepat. Hal ini amat mengkagumkan Ratu Belanda, lantas surat beliau diberi jawaban dan diberi pujian dan penghargaan, sebab tak disangka oleh Ratu Belanda, seorang ulama Indonesia yang mengetahui silsilahnya dengan tepat. Tetapi tanda penghargaan Ratu Belanda tersebut telah dibuang oleh Habib Salim kerana beliau tidak memerlukan penghargaan.
Dalam usaha dakwahnya, beliau telah mendirikan madrasah di Probolinggo serta mendirikan Majlis Ta’lim Fakhriyyah di Jakarta, selain merantau ke berbagai daerah Indonesia untuk tujuan dakwah dan ta’lim. Mempunyai ramai murid antaranya Kiyai Abdullah Syafi`i, Habib Abdullah bin Thoha as-Saqqaf, Kiyai Thohir Rohili, Habib Abdur Rahman al-Attas dan ramai lagi.
Habib Salim juga aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sehingga dipenjarakan oleh Belanda. Di zaman penjajahan Jepun, beliau juga sering dipenjara kerana ucapan-ucapannya yang tegas, bahkan setelah kemerdekaan Indonesia, beliau juga sering keluar masuk penjara kerana kritikannya yang tajam terhadap kerajaan apalagi dalam hal bersangkutan agama yang sentiasa ditegakkannya dengan lantang.
Sifat dan kepribadian luhurnya serta ilmunya yang luas menyebabkan ramai yang berguru kepada beliau, Presiden Soerkano sendiri pernah berguru dengan beliau dan sering dipanggil ke istana oleh Bung Karno. Waktu Perjanjian Renvil ditandatangani, beliau turut naik atas kapal Belanda tersebut bersama pemimpin Indonesia lain. Beliau wafat di Jakarta pada 10 Rabi`ul Awwal dan dimakamkan dengan Masjid al-Hawi, Jakarta……Al-Fatihah.

Ratapan 10 Muharram – Fatwa Habib Salim

Lantaran Revolusi Syiah Iran yang menumbangkan kerajaan Syiah Pahlavi, maka ada orang kita yang terpengaruh dengan ajaran Syiah. Bahkan ada juga keturunan Saadah Ba ‘Alawi yang terpengaruh kerana termakan dakyah Syiah yang kononnya mengasihi Ahlil Bait.
Habib Salim bin Ahmad BinJindan telah menulis sebuah kitab membongkar kesesatan Syiah yang diberinya jodol “Ar-Raa`atul Ghoomidhah fi Naqdhi Kalaamir Raafidhah”. Berhubung dengan bid`ah ratapan pada hari ‘Asyura, Habib Salim menulis, antaranya:-
• Dan di antara seburuk-buruk adat mereka daripada bid`ah adalah puak Rawaafidh (Syiah) meratap dan menangis setiap tahun pada 10 Muharram hari terbunuhnya al-Husain. Maka ini adalah satu maksiat dari dosa-dosa besar yang mewajibkan azab bagi pelakunya dan tidak sewajarnya bagi orang yang berakal untuk meratap seperti anjing melolong dan menggerak-gerakkan badannya.
• Junjungan Rasulullah s.a.w. telah menegah daripada perbuatan sedemikian (yakni meratap) dan Junjungan Rasulullah s.a.w. telah melaknat orang yang meratap. Dan di antara perkara awal yang diminta oleh Junjungan Rasulullah s.a.w. daripada wanita-wanita yang berbaiah adalah supaya mereka meninggalkan perbuatan meratap terhadap si mati, di mana Junjungan s.a.w. bersabda:- “Dan janganlah kalian merobek pakaian, mencabut-cabut rambut dan menyeru-nyeru dengan kecelakaan dan kehancuran”.
• Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan satu hadis daripada Sayyidina Ibnu Mas`ud r.a. bahawa Junjungan s.a.w bersabda: “Bukanlah daripada kalangan kami orang yang memukul dada, mengoyak kain dan menyeru dengan seruan jahiliyyah (yakni meratap seperti ratapan kaum jahiliyyah).” Maka semua ini adalah perbuatan haram dan pelakunya terkeluar daripada umat Muhammad s.a.w. sebagaimana dinyatakan dalam hadis tadi.
• Telah berkata asy-Syarif an-Nashir li Ahlis Sunnah wal Jama`ah ‘Abdur Rahman bin Muhammad al-Masyhur al-Hadhrami dalam fatwanya: “Perbuatan menyeru `Ya Husain’ sebagaimana dilakukan di daerah India dan Jawa yang dilakukan pada hari ‘Asyura, sebelum atau selepasnya, adalah bid`ah madzmumah yang sangat-sangat haram dan pelaku-pelakunya dihukumkan fasik dan sesat yang menyerupai kaum Rawaafidh (Syiah) yang dilaknat oleh Allah. Bahawasanya Junjungan Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesiapa yang menyerupai sesuatu kaum, maka dia daripada kalangan mereka dan akan dihimpun bersama mereka pada hari kiamat.”
Janganlah tertipu dengan dakyah Syiah. Pelajarilah betul-betul pegangan Ahlus Sunnah wal Jama`ah dan berpegang teguh dengannya. Katakan tidak kepada selain Ahlus Sunnah wal Jama`ah, katakan tidak kepada Wahhabi, katakan tidak kepada Syiah.

Ulama dan Pejuang Kemerdekaan

Ulama Jakarta ini menguasai beberapa ilmu agama. Banyak ulama dan habaib berguru kepadanya. Koleksi kitabnya berjumlah ratusan. Ia juga pejuang kemerdekaan.

Pada periode 1940-1960, di Jakarta ada tiga habaib yang seiring sejalan dalam berdakwah. Mereka itu: Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi (Kwitang), Ali bin Husein Alatas (Bungur) dan Habib Salim bin Jindan (Otista). Hampir semua habaib dan ulama di Jakarta berguru kepada mereka, terutama kepada Habib Salim bin Jindan – yang memiliki koleksi sekitar 15.000 kitab, termasuk kitab yang langka. Sementara Habib Salim sendiri menulis sekitar 100 kitab, antara lain tentang hadits dan tarikh, termasuk yang belum dicetak.
Lahir di Surabaya pada 18 Rajab 1324 (7 September 1906) dan wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969), nama lengkapnya Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Saleh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Jindan. Seperti lazimnya para ulama, sejak kecil ia juga mendapat pendidikan agama dari ayahandanya.
Menginjak usia remaja ia memperdalam agama kepada Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Habib Empang, Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso), Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya), Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik), K.H. Cholil bin Abdul Muthalib (Kiai Cholil Bangkalan), dan Habib Alwi bin Abdullah Syahab di Tarim, Hadramaut.
Selain itu ia juga berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, seorang ahli hadits dan fuqaha, yang sat itu juga memimpin Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Bukan hanya itu, ia juga rajin menghadiri beberapa majelis taklim yang digelar oleh para ulama besar. Kalau dihitung, sudah ratusan ulama besar yang ia kunjungi.
Dari perjalanan taklimnya itu, akhirnya Habib Salim mampu menguasai berbagai ilmu agama, terutama hadits, tarikh dan nasab. Ia juga hafal sejumlah kitab hadits. Berkat penguasaannya terhadap ilmu hadits ia mendapat gelar sebagai muhaddist, dan karena menguasai ilmu sanad maka ia digelari sebagai musnid.
Mengenai guru-gurunya itu, Habib Salim pernah berkata, “Aku telah berkumpul dan hadir di majelis mereka. Dan sesungguhnya majelis mereka menyerupai majelis para sahabat Rasulullah SAW dimana terdapat kekhusyukan, ketenangan dan kharisma mereka.” Adapun guru yang paling berkesan di hatinya ialah Habib Alwi bin Muhammad Alhaddad dan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf. Tentang mereka, Habib Salim pernah berkata, ”Cukuplah bagi kami mereka itu sebagai panutan dan suri tauladan.”
Pada 1940 ia hijrah ke Jakarta. Di sini selain membuka majelis taklim ia juga berdakwah ke berbagai daerah. Di masa perjuangan menjelang kemerdekaan, Habib Salim ikut serta membakar semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah Belanda. Itu sebabnya ia pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang maupun ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia seperti pada Aksi Polisionil I pada 1947 dan 1948.
Dalam tahanan penjajah, ia sering disiksa: dipukul, ditendang, disetrum. Namun, ia tetap tabah, pantang menyerah. Niatnya bukan hanya demi amar makruf nahi munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran, tetapi juga demi kemerdekaan tanah airnya. Sebab, hubbul wathan minal iman – cinta tanah air adalah sebagian dari pada iman.

Kembali Berdakwah
Setelah Indonesia benar-benar aman, Habib Salim sama sekali tidak mempedulikan apakah perjuangannya demi kemerdekaan tanah air itu dihargai atau tidak. Ia ikhlas berjuang, kemudian kembali membuka majelis taklim yang diberi nama Qashar Al-Wafiddin. Ia juga kembalin berdakwah dan mengajar, baik di Jakarta, di beberapa daerah maupun di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Kamboja.
Ketika berdakwah di daerah-daerah itulah ia mengumpulkan data-data sejarah Islam. Dengan cermat dan tekun ia kumpulkan sejarah perkembangan Islam di Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau Roti, Sumatera, Pulau Jawa. Ia juga mendirikan sebuah perpustakaan bernama Al-Fakhriah.
Di masa itu Habib Salim juga dikenal sebagai ulama yang ahli dalam menjawab berbagai persoalan – yang kadang-kadang menjebak. Misalnya, suatu hari, ketika ia ditanya oleh seorang pendeta, ”Habib, yang lebih mulia itu yang masih hidup atau yang sudah mati?” Maka jawab Habib Salim, “Semua orang akan menjawab, yang hidup lebih mulia dari yang mati. Sebab yang mati sudah jadi bangkai.”
Lalu kata pendeta itu, “Kalau begitu Isa bin Maryam lebih mulia dari Muhammad bin Abdullah. Sebab, Muhammad sudah meninggal, sementara Isa — menurut keyakinan Habib — belum mati, masih hidup.”
“Kalau begitu berarti ibu saya lebih mulia dari Maryam. Sebab, Maryam sudah meninggal, sedang ibu saya masih hidup. Itu, dia ada di belakang,” jawab Habib Salim enteng. Mendengar jawaban diplomatis itu, si pendeta terbungkam seribu bahasa, lalu pamit pulang. Ketika itu banyak kaum Nasrani yang akhirnya memeluk Islam setelah bertukar pikiran dengan Habib Salim.
Habib Salim memang ahli berdebat dan orator ulung. Pendiriannya pun teguh. Sejak lama, jauh-jauh hari, ia sudah memperingatkan bahaya kerusakan moral akibat pornografi dan kemaksiatan. “Para wanita mestinya jangan membuka aurat mereka, karena hal ini merupakan penyakit yang disebut tabarruj, atau memamerkan aurat, yang bisa menyebar ke seluruh rumah kaum muslimin,” kata Habib Salim kala itu.
Ulama besar ini wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969). Ketika itu ratusan ribu kaum muslimin dari berbagai pelosok datang bertakziah ke rumahnya di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur. Iring-iringan para pelayat begitu panjang sampai ke Condet. Jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid Alhawi, Condet, Jakarta Timur.
Almarhum meninggalkan dua putera, Habib Shalahudin dan Habib Novel yang juga sudah menyusul ayahandanya. Namun, dakwah mereka tetap diteruskan oleh anak keturunan mereka. Mereka, misalnya, membuka majelis taklim dan menggelar maulid (termasuk haul Habib Salim) di rumah peninggalan Habib Salim di Jalan Otto Iskandar Dinata.
Belakangan, nama perpustakaan Habib Salim, yaitu Al-Fachriyyah, diresmikan sebagai nama pondok pesantren yang didirikan oleh Habib Novel bin Salim di Ciledug, Tangerang. Kini pesantren tersebut diasuh oleh Habib Jindan bin Novel bin Salim dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim – dua putra almarhum Habib Novel. “Sekarang ini sulit mendapatkan seorang ulama seperti jid (kakek) kami. Meski begitu, kami tetap mewarisi semangatnya dalam berdakwah di daerah-daerah yang sulit dijangkau,” kata Habib Ahmad, cucu Habib Salim bin Jindan.
Ada sebuah nasihat almarhum Habib Salim bin Jindan yang sampai sekarang tetap diingat oleh keturunan dan para jemaahnya, ialah pentingnya menjaga akhlak keluarga. ”Kewajiban kaum muslimin, khususnya orangtua untuk menasihati keluarga mereka, menjaga dan mendidik mereka, menjauhkan mereka dari orang-orang yang bisa merusak akhlak. Sebab, orangtua adalah wasilah (perantara) dalam menuntun anak-anak. Nasihat seorang ayah dan ibu lebih berpengaruh pada anak-anak dibanding nasehat orang lain.”

Disarikan dari Manakib Habib Salim bin Jindan karya Habib Ahmad bin Novel bin Salim

Biografi Habib Munzir Al-Musawa

hb_munzir-almusawa72Al-Allamah wal Fahamah Sayyidi Syarif Al-Habib Munzir bin Fuad bin Abdurrahman bin Ali bin Abdurrahman bin Ali bin Aqil bin Ahmad bin Abdurrahman bin Umar bin Abdurrahman bin Sulaiman bin Yaasin bin Ahmad Al-musawa bin Muhammad Muqallaf bin Ahmad bin Abubakar Assakran bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi Alghayur bin Muhammad Faqihil Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali’ Qasim bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Almuhajir bin Isa Arrumiy bin Muhammad Annaqib bin Ali Al Uraidhiy bin Jakfar Asshadiq bin Muhammad Albaqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein Dari Fathimah Azahra Putri Rasul SAW.

Nama beliau Munzir bin Fuad bin Abdurrahman Almusawa, dilahirkan di Cipanas Cianjur Jawa barat, pada hari jum’at 23 februari 1973, bertepatan 19 Muharram 1393H, setelah beliau menyelesaikan sekolah menengah atas, beliau mulai mendalami Ilmu Syariah Islam di Ma’had Assaqafah Al Habib Abdurrahman Assegaf di Bukit Duri Jakarta Selatan, lalu mengambil kursus bhs.Arab di LPBA Assalafy Jakarta timur, lalu memperdalam lagi Ilmu Syari’ah Islamiyah di Ma’had Al Khairat, Bekasi Timur, kemudian beliau meneruskan untuk lebih mendalami Syari’ah ke Ma’had Darul Musthafa, Tarim Hadhramaut Yaman pada tahun 1994, selama empat tahun, disana beliau mendalami Ilmu Fiqh, Ilmu tafsir Al Qur;an, Ilmu hadits, Ilmu sejarah, Ilmu tauhid, Ilmu tasawuf, mahabbaturrasul saw, Ilmu dakwah, dan ilmu ilmu syariah lainnya.

Habib Munzir Al-Musawa kembali ke Indonesia pada tahun 1998, dan mulai berdakwah, dengan mengunjungi rumah rumah, duduk dan bercengkerama dg mereka, memberi mereka jalan keluar dalam segala permasalahan, lalu atas permintaan mereka maka mulailah Habib Munzir membuka majlis, jumlah hadirin sekitar enam orang, beliau terus berdakwah dengan meyebarkan kelembutan Allah swt, yang membuat hati pendengar sejuk, beliau tidak mencampuri urusan politik, dan selalu mengajarkan tujuan utama kita diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah swt, bukan berarti harus duduk berdzikir sehari penuh tanpa bekerja dll, tapi justru mewarnai semua gerak gerik kita dengan kehidupan yang Nabawiy, kalau dia ahli politik, maka ia ahli politik yang Nabawiy, kalau konglomerat, maka dia konglomerat yang Nabawiy, pejabat yang Nabawiy, pedagang yang Nabawiy, petani yang Nabawiy, betapa indahnya keadaan ummat apabila seluruh lapisan masyarakat adalah terwarnai dengan kenabawian, sehingga antara golongan miskin, golongan kaya, partai politik, pejabat pemerintahan terjalin persatuan dalam kenabawiyan, inilah Dakwah Nabi Muhammad saw yang hakiki, masing masing dg kesibukannya tapi hati mereka bergabung dg satu kemuliaan, inilah tujuan Nabi saw diutus, untuk membawa rahmat bagi sekalian alam. Majelisnya mengalami pasang surut, awal berdakwah ia memakai kendaraan umum turun naik bus, menggunakan jubah dan surban, serta membawa kitab-kitab. Tak jarang beliau mendapat cemoohan dari orang-orang sekitar. Beliau bahkan pernah tidur di emperan toko ketika mencari murid dan berdakwah. Kini majlis taklim yang diasuhnya setiap malam selasa di Masjid Al-Munawar Pancoran Jakarta Selatan, yang dulu hanya dihadiri tiga sampai enam orang, sudah berjumlah sekitar 10.000 hadirin setiap malam selasa, Habib Munzir sudah membuka puluhan majlis taklim di seputar Jakarta dan sekitarnya, beliau juga membuka majelis di rumahnya setiap malam jum’at bertempat di jalan kemiri cidodol kebayoran, juga sudah membuka majlis di seputar pulau jawa, yaitu:

Jawa barat :

Ujungkulon Banten, Cianjur, Bandung, Majalengka, Subang.

Jawa tengah :

Slawi, Tegal, Purwokerto, Wonosobo, Jogjakarta, Solo, Sukoharjo, Jepara, Semarang,

Jawa timur :

Mojokerto, Malang, Sukorejo, Tretes, Pasuruan, Sidoarjo, Probolinggo.

Bali :

Denpasar, Klungkung, Negara, Karangasem.

NTB

Mataram, Ampenan

Luar Negeri :

Singapura, Johor, Kualalumpur.

Buku-buku yang sering menjadi rujukan beliau di majelisnya antara lain: kitab As-syifa (Imam Fadliyat), Samailul Muhammadiyah (Imam Tirmidzi), Mukasyifatul Qulub (Imam Ghazali), Tambili Mukhdarim (Imam Sya’rani), Al-Jami’ Ash-Shahih/Shahih Bukhari (Imam Bukhari), Fathul Bari’ fi Syarah Al-Bukhari (Imam Al-Astqalani), serta kitab karangan Imam Al-Haddad dan kitab serta pelajaran yang didapat dari guru beliau Habib Umar bin Hafidh.

Nama Rasulullah SAW sengaja digunakan untuk nama Majelisnya yaitu “Majelis Rasulullah SAW”, agar apa-apa yang dicita-citakan oleh majelis taklim ini tercapai. Sebab beliau berharap, semua jamaahnya bisa meniru dan mencontoh Rasulullah SAW dan menjadikannya sebagai panutan hidup.

Adapun guru-guru beliau antara lain:

Habib Umar bin Hud Al-Athas (cipayung), Habib Aqil bin Ahmad Alaydarus, Habib Umar bin Abdurahman Assegaf, Habib Hud Bagir Al-Athas, di pesantren Al-Khairat beliau belajar kepada Ustadz Al-Habib Nagib bin Syeikh Abu Bakar, dan di Hadramaut beliau belajar kepada Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Arifbillah Sayyidi Syarif Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh bin Syeikh Abu Bakar bin Salim (Rubath Darul Mustafa), juga sering hadir di majelisnya Al-Allamah Al-Arifbillah Al-Habib Salim Asy-Syatiri (Rubath Tarim).

Dan yang paling berpengaruh didalam membentuk kepribadian beliau adalah Guru mulia Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Arifbillah Sayyidi Syarif Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh bin Syeikh Abu Bakar bin Salim.

Salah satu sanad Guru beliau adalah:

Al-Habib Munzir bin fuad Al-Musawa berguru kepada Guru Mulia Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Musnid Al-Arifbillah Sayyidi Syarif Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh bin Syeikh Abu Bakar bin Salim,

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Abdulqadir bin Ahmad Assegaf,

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Abdullah Assyatiri,

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (simtuddurar),

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Abdurrahman Al-Masyhur (shohibulfatawa),

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdullah bin Husen bin Thohir,

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Umar bin Seggaf Assegaf,

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Hamid bin Umar Ba’alawiy,

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Habib Al-Hafizh Ahmad bin Zein Al-Habsyi,

Dan beliau berguru kepada Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad (shohiburratib),

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Husein bin Abubakar bin Salim,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Imam Al-Allamah Al-Habib Abubakar bin Salim (fakhrulwujud),

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Syahabuddin,

Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdurrahman bin Ali (Ainulmukasyifiin),

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Ali bin Abubakar (assakran),

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abubakar bin Abdurrahman Assegaf,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdurrahman Assegaf,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Muhammad Mauladdawilah,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Ali bin Alwi Al-ghayur,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Hafizh Al-Imam faqihilmuqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawiy,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali bin Muhammad Shahib Marbath,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad Shahib Marbath bin Ali,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali Khali’ Qasam bin Alwi,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Alwi bin Muhammad,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad bin Alwi,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Alwi bin Ubaidillah,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Isa Arrumiy,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Isa Arrumiy bin Muhammad Annaqib,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad Annaqib bin Ali Al-Uraidhiy,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali Al-Uraidhiy bin Ja’far Asshadiq,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ja’far Asshadiq bin Muhammad Al-Baqir,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali Zainal Abidin Assajjad,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Imam Husein ra,

Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Imam Ali bin Abi Thalib ra,

Dan beliau berguru kepada Semulia-mulia Guru, Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW, maka sebaik-baik bimbingan guru adalah bimbingan Rasulullah SAW.

Sanad guru beliau sampai kepada Rasulullah SAW, begitu pula nasabnya.

Biografi Al-Habib ‘Umar bin Hafiz

Al-Imam Al-'Arifbillah Al-Musnid Al-Hafizh Al-Mufassir Al-Habib Umar bin Muhammad bin HafidhAl-Imam Al-’Arifbillah Al-Musnid Al-Hafizh Al-Mufassir Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh. Beliau adalah al-Habib ‘Umar putera dari Muhammad putera dari Salim putera dari Hafiz putera dari Abd-Allah putera dari Abi Bakr putera dari‘Aidarous putera dari al-Hussain putera dari al-Shaikh Abi Bakr putera dari Salim putera dari ‘Abd-Allah putera dari ‘Abd-al-Rahman putera dari ‘Abd-Allah putera dari al-Shaikh ‘Abd-al-Rahman al-Saqqaf putera dari Muhammad Maula al-Daweela putera dari ‘Ali putera dari ‘Alawi putera dari al-Faqih al-Muqaddam Muhammad putera dari ‘Ali putera dari Muhammad Sahib al-Mirbat putera dari ‘Ali Khali‘ Qasam putera dari ‘Alawi putera dari Muhammad putera dari ‘Alawi putera dari ‘Ubaidallah putera dari al-Imam al-Muhajir to Allah Ahmad putera dari ‘Isa putera dari Muhammad putera dari ‘Ali al-‘Uraidi putera dari Ja’far al-Sadiq putera dari Muhammad al-Baqir putera dari ‘Ali Zain al-‘Abidin putera dari Hussain sang cucu laki-laki, putera dari pasangan ‘Ali putera dari Abu Talib dan Fatimah al-Zahra puteri dari Rasul Muhammad s.a.w.

Beliau terlahir di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama berabad-abad. Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim. Ayahnya adalah salah seorang ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran agama Islam dan pengajaran Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Demikian pula kedua kakek beliau, al-Habib Salim bin Hafiz dan al-Habib Hafiz bin Abd-Allah yang merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya. Allah seakan menyiapkan kondisi-kondisi yang sesuai bagi al-Habib ‘Umar dalam hal hubungannya dengan para intelektual muslim disekitarnya serta kemuliaan yang muncul dari keluarganya sendiri dan dari lingkungan serta masyarakat dimana ia dibesarkan.sejuknya-pandanganmu1

Beliau telah mampu menghafal Al Qur’an pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal berbagai teks inti dalam fiqh, hadith, Bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab dan al-Shaikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu. Maka beliau pun mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, al-Habib Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da’wah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang ‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan dhikr.

Namun secara tragis, ketika al-Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk sholat Jum‘ah, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahwa tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang Da‘wah sama seperti seakan-akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di masa kecil sebelum beliau mati syahid. Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk Majelis-majelis dan da’wah. Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan untuk menghafal Al Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional.

Ia sesungguhnya telah benar-benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan beliau dikirim ke kota al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda.

Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan beliau. Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah bimbingan ahli dari yang Mulia al-Habib Muhammad bin ‘Abd-Allah al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan ulama mazhab Shafi‘i al-Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya ia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Ia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang Da‘wah.

Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w pada hati mereka seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing. Usaha beliau yang demikian gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan, mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan sorban/selendang Islam dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh Allah s.a.w.

Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah dipengaruhi beliau mulai berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan da‘wah maupun keteguhan beliau dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini, beliau mulai mengunjungi banyak kota-kota maupun masyarakat diseluruh Yaman, mulai dari kota Ta’iz di utara, untuk belajar ilmu dari mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada beliau perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari Shaikh al-Habib Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung.

Tak lama setelah itu, beliau melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul s.a.w di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, beliau diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari al-Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya s.a.w dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga beliau dicintai al-Habib Abdul Qadir salah seorang guru besarnya. Begitu pula beliau diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni al-Habib Ahmed Mashur al-Haddad dan al-Habib ‘Attas al-Habashi.

Sejak itulah nama al-Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikarenakan kegigihan usaha beliau dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopuleran dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya, ini menjadikannya mendapatkan sumber tambahan dimana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru.

Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman. Disana ajaran-ajaran beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan pembangunan Ribat al-Mustafa. Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran di masa depan.

Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah. Dar-al-Mustafa menjadi hadiah beliau bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar. Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional di abad ke-15 setelah hari kebangkitan. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka.

Habib ‘Umar kini tinggal di Tarim, Yaman dimana beliau mengawasi perkembangan di Dar al-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif dalam penyebaran agama Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya.

ALMARHUM BAPAK KH. ABDULLAH SYAFI'Ie



Pendiri Masjid Al-Barakah dan Yayasan Perguruan Islam As-Syafi’iyah


Riwayat singkat hidupnya dan perjuangannya dalam meninggikan kalimat ALLAH SWT.

  • KH. Abdullah Syafi’ie lahir di Kampung Balimatraman, Jakarta Selatan pada tanggal 16 Sya’ban 1329 H/ 10 Agustus 1910 Hari Sabtu. Nama ayahnya H. Syafi’ie Bin Sairan dan ibundanya Nona Binti Asy’ari. Mempunyai dua orang adik perempuan yang bernama Hj. Siti Rogayah dan Hj. Siti Aminah.
  • Kedua orang tuanya cinta kepada orang-orang Alim dan Sholeh sehingga dari sejak kecil sudah diarahkan untuk belajar ilmu agama.
  • Sambil belajar, menuntut ilmu terus mengajar. Dan pada umur 17 tahun sudah memperoleh surat pemberian tahoe; boleh mengajar di langgar partikulir.
  • Ketika berumur 23 tahun mulai membangun Masjid Al Barkah di Kp. Balimatraman. Disitulah Almarhum lebih menekuni pembinaan masyarakat-umat mengajak mereka ke jalan Allah.
  • Sekitar tahun tiga puluhan da’wahnya lebih meluas lagi mencapai daerah sekitar Jakarta dan Almarhum menuntut ilmu ke Bogor (Habib Alawy Bin Tohir Alhaddad).
  • Sekitar tahun empat puluhan membangun tempat pendidikan yaitu tingkat ibtidaiyah dan secara sederhana mulai menampung pelajar-pelajar yang mukim (tinggal) terutama dari keluarga.
  • Pada tahun 1957 membangun AULA AS-SYAFI’IYAH yang diperuntukkan bagi madrasah tingkat Tsanawiyah Lilmuballighin wal Muallimin.
  • Tahun 1965 mendirikan Akademi Pendidikan Islam As-Syafi’iyah (AKPI As-Syafi’iyah).
  • Tahun 1967 mendirikan Stasiun Radio As-Syafi’iyah, tahun 1969 AKPI ditingkatkan menjadi UIA.
  • Tahun 1968 merintis tempat pendidikan di suatu desa pinggiran Jakarta yaitu Jatiwaringin Kecamatan Pondok Gede Bekasi sebagai pengembangan dari pendidikan yang telah ada.
  • Pada tahun 1974-1975 membangun pesantren putra dan pesantren putri di Jatiwaringin.
  • Pada tahun 1978 membangun pesantren khusus untuk Yatama dan Masakin.
  • Pengembangan sarana untuk pendidikan dan pesantren terus terus dikembangkan ke sekitar Jakarta seperti di Cilangkap-Pasar Rebo, di Payangan-Bekasi, Kp. Jakasampurna-Bekasi, dll.
  • Tahun 1980 mulai menyiapkan lokasi untuk Kampus Universitas Islam As-Syafi’iyah.
  • Almarhum pernah menjabat sebagai Ketua I Majelis Ulama Indonesia pada periode pertama dan juga sebagai Ketua Umum Majelis Ulama DKI periode pertama dan kedua.
  • Almarhum banyak memikirkan tentang pendidikan untuk menghadirkan Ulama untuk masa yang akan datang dengan mendirikan Pesantren Tinggi yaitu MA”HAD ALY DAARUL ARQOM As-Syafi’iyah.
  • Almarhum berhati lembut : merasa pedih hatinya dengan penderitaan umat terutama jika umat mendapat musibah dalam urusan agama. Almarhum segera berusaha memberikan petunjuk dan pengarahan serta mencarikan jalan-jalan keluarnya.
  • Selalu mengajak umat kepada Tauhidullah dan AQIDAH ala thoriqoh Ahlissunnah wal jama’ah. Dimana-mana beliau berda’wah dan berceramah selalu mengajak jama’ah untuk beristighfar dan mengumandangkan kalimat Tauhid : La ilaa ha illallah – Muhammadurrasulullah.
  • Jiwa dan semangatnya : membangun umat untuk menghidupkan syi’arnya agama Islam. Mendirikan masjid-masjid, musholla dan madrasah serta pesantren-pesantren. Menggalakan umat untuk berani dan suka beramal jariah, infak, dan shodaqoh serta berwakaf.
  • Mengajak ulama dan asatidzah untuk bersatu. Memberikan kesempatan kepada asatidzah dan ulama-ulama untuk tampil di tengah masyarakat.
  • Menyelenggarakan Majlis Muzakarah Ulama dan Asatidzah.
  • Menyantuni para dhu’afa (kaum yang lemah) dengan bantuan berupa beras, pakaian, uang, dll.
  • Pada hari Selasa dinihari jam 00.30 Bapak KH. Abdullah Syaf’ie berpulang ke rahmatullah saat menuju Rumah Sakit Islam. Dishalatkan di Masjid Al Barkah Balimatraman oleh puluhan ribu umat islam secara bergelombang dipimpin oleh para Alim Ulama. Turut serta tokoh-tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah. Dimakamkan pada hari Selasa tgl. 18 Zulhijjah 1405 H/ 3 September 1985 di Komplek Pesantren Putra As-Syafi’iyah Jatiwaringin-Pondok Gede dengan dihantarkan oleh ratusan ribu umat Islam.

INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI’UN

“SEMOGA ALLAH SWT SELALU MEMBERIKAN RAHMATNYA DAN AMPUNANNYA.”

Amin. Al fatihah…

HABIB JA’FAR BIN SYAIKHON ASSEGAF ( ULAMA PASURUAN AHLI ALQURAN)

Waktu ta’lim di Jawa Timur saya diajak salah seorang guru saya menghadiri Haul Al alamah KH. Hamid di Pasuruan , Kh. Hamid merupakan murid dari seorang ulama min awliyaillah yang bernama Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaf dari Pasuruan Jawa Timur. Habib ja’far bin syaikhon assegaf terkenal sebagai ulama yang memilki karomah dan memilki penghetahuan yang sangat luas tentang Alquran. Jika beliau sedang membaca alquran maka semua yang mendengarkan akan terkesima dengan bacaannya dan seakan akan hurup hurup yang keluar dari bacaan habib Ja’far berbentuk. Lantunan suaranya yang merdu ketika membacakan alquran membuat yang mendengarkannya tersentuh hatinya. Ini yang dirasakan oleh beberapa Ulama ulama yang pernah sholat berjamaah dengannya. Maka tak heran bila salah seorang Gurunya Habib Muhammad bin Ahmad muhdor dari Bondowoso memberi gelar dengan “Alquran berjalan” .

habib ja'far bin syaikhon

Nama lengkap beliau Habib Ja’far bin Syaikhan bin Ali bin Hasyim bin Syeikh bin Muhammad bin Hasyim Assegaf. Lahir di kota Ghurfah, Hadramaut pada tahun 1298 H. Sejak kecil hinga remaja beliau berguru kepada para ulama ulama masyhur di Hadro maut . Sebagaimana kebanyakan dari para ulama ulama salafus soleh di hadromaut pada waktu itu yang hijrah dan berdakwah keberbagai pelosok , Habib ja’far pun mengikuti pendahulunya untuk hijrah dan berdakwah keluar dari Hadro maut Yaman. Dan beliau menetap pertama kali di kota Surabaya hingga akhirnya beliau menetap di Pasuruan serta mendirikan Majlis ta’lim dan Dzikir yang hingga sekarang masih di teruskan oleh salah seorang cucu beliau bernama Habib Taufiq bin Abdul qodir Assegaf.

Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaf terkenal memiliki Karomah yang tampak dan saya pernah dengar dari guru saya bahwa Tasbih besar beliau yang selalu dililitkan di pundaknya berputar dengan sendirinya seperti ada yang menggerakkan. Bahkan pernah suatu ketika ada seorang Tamu yang tidak percaya dengan Hakekat Wali dan dia datang berkunjung ke rumah Habib Ja’far Assegaf dan minta di sediakan buah Korma dan tamu tersebut berpikir mana mungkin di Pasuruan ada Korma, Ketika itu juga Habib Ja’far membuka jendela menjulurkan tangannya keluar jendela dan ternyata di tangan nya sudah ada beberapa buah korma yang masih segar seperti baru di petik dari pohonnya. Bukan main kagetnya Tamu tersebut menyaksikan kejadian luar biasa tersebut. Beliau juga sangat memuliakan setiap tamu yang datang berkunjung kerumahnya dan beliau sendiri yang menuangkan minuman kedalam gelas para tamu , hal ini dilakukan karena memuliakan tamu adalah sebagian dari pada keimanan

Habib Ja’far bin Syaikhon as-Seggaf merupakan seorang ulama besar dan waliyullah di kota Pasuruan yang bertarekat Alawiyah, seperti diketahui, tarekat ini dinamakan alawy –selain disandarkan pada pendirinya, Imam Alawi al-Muhajir,- adalah tarekat yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai sadat yang berasal dari keturunan Nabi Muhammad SAW. Karena itu, pengikut Tarekat Alawiyyah kebanyakan adalah dari para Sayyid.

Sepanjang hidupnya Habib Jafar bin syaikhon assegaf di habiskan untuk berdakwah dan beribadah maka tak heran beliau sangat di cintai masyarakat kkhususnya Pasuruan yang mendapat berkah tersendiri oleh kehadiran Habib Ja’far assegaf , Hari senin Tanggal 07 Februari 1955 atau 14 Jumadil akhir 1374 Habib Ja’far bin syikhon Assegaf kembali ke Rahmatulloh dalam usia yang ke 76 tahun dan di makamkan di masjid jami’ Al anwar Pasuruan dan setiap tahun di bulan Jumadil akhir diadakan haul beliau yang dihadri oleh ribuan Muhibbin dari pelosok daerah.


makom habib ja'far